MENGETAHUI anak terkasih terjerumus dalam pergaulan narkotika, menjadi malapetaka besar bagi Dani (bukan nama sebenarnya). Dani yang merasa selalu meluangkan waktu untuk anaknya, sama sekali tidak menyangka bahwa akhirnya malapetaka itu menimpa anak remajanya juga.
Begitu pun dengan Retha. Ia seperti disambar petir, ketika salah seorang teman putrinya mengatakan, kalau putri kebanggaannya telah hamil dua bulan. Retha merasa seperti dikhianati, karena putrinya tidak bercerita sama sekali.
Masih banyak orangtua, terutama di perkotaan, yang mengalami hal serupa. Mereka kecewa, marah, merasa gagal sebagai orangtua, dan putus asa. Tidak sedikit dari mereka justru tenggelam dalam kekecewaan tersebut. Kondisi itu tentu saja tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah baru.
"Yang pertama kali harus dilakukan orangtua adalah belajar untuk menerima keadaan dengan lapang dada. Emosi itu wajar, namun harus bisa disalurkan secara dewasa," kata psikolog Tjut Rifameutia MA dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Rabu (20/2)
Menurut Rifa, siapa pun bisa terkena musibah seperti itu. Biarpun orangtua adalah seorang akademisi, dokter, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau apa pun, bisa saja mengalami hal seperti itu.
"Bahkan, di dalam keluarga yang komunikasinya terbina baik pun, bisa terjadi. Mengapa? Pada dasarnya remaja itu senang mencoba. Ada yang hanya sekadar mencoba, ada yang keterusan. Kalau sudah begitu, bukan berarti orangtua gagal mendidik anak," tegas Rifa.
***
MENERIMA apa adanya anak yang mengalami musibah adalah sebuah tahap yang paling sulit bagi orangtua. Namun, hal itu bukan berarti tidak bisa dilewati.
"Mungkin orangtua bisa diam sejenak. Setelah itu, cobalah mencari kelompok-kelompok diskusi dari orangtua-orangtua lain yang mempunyai masalah serupa. Kelompok ini bisa dicari di lembaga-lembaga yang menangani masalah perkembangan anak. Dengan bergabung dalam kelompok ini, akan sangat membantu orangtua dalam menerima kenyataan," ungkap Rifa.
Satu hal yang paling pantang dilakukan, menurut Rifa, adalah menjauhkan diri dari remaja yang bermasalah itu. Tuturnya, "Mereka itu korban. Kalau mereka dijauhi, tidak akan ada penyelesaian. Anak justru semakin dalam terjerumus."
Remaja-remaja yang bermasalah itu juga tidak membutuhkan hukuman. Tegas Rifa, "Biasanya, kalau anak bersalah, yang pertama kali ingin dilakukan orangtua adalah menghukumnya. Namun, cara ini tidak efektif bagi seorang remaja. Jika dikerasi, remaja akan defensif lalu tidak akan membuka dirinya."
Cara efektif untuk menyelesaikan masalah itu adalah membuka diri terhadap anak. Bicaralah dengan intonasi yang datar, namun bersahabat.
"Misalnya, mama sedih dengan keadaan ini. Tetapi, kamu tentu lebih sedih lagi. Sekarang mari kita pecahkan bersama. Menurut kamu, tindakan apa yang paling baik kita tempuh ya," kata Rifa mencontohkan.
Dengan melibatkan anak untuk memutuskan tindakan selanjutnya, anak akan merasa dihargai. Dia pun akan lebih bertanggung jawab karena dia ikut mengambil keputusan itu.
"Usia remaja itu dalam kondisi tanggung. Dia tidak ingin didikte seperti anak kecil, tetapi belum bisa mengambil keputusan sendiri. Jadi, kalau orangtua dan remaja mengambil keputusan bersama, tentu dia merasa dihargai sebagai manusia dewasa," ujar Rifa.
Mengenai hukuman, Rifa menyarankan agar dilakukan secara bijaksana. Misalnya, bila anak ketahuan sering membolos sekolah, jangan dihukum dengan dikurung di kamar atau tidak mendapatkan uang jajan. Sebaiknya si anak diajak berbicara baik-baik. Tuturnya, "Kamu, kan, sudah ketinggalan banyak pelajaran, bagaimana kalau sekarang kamu mulai mengejar ketinggalan itu. Konsekuensinya, ya kamu mengurangi waktu main du-
lu. Nanti, kalau sudah bisa mengejar ketinggalan itu, baru kamu bisa pergi keluar seperti biasa."
"Sedapat mungkin, orangtua membuat hukuman yang tidak dilihat anak sebagai bentuk pelampiasan emosi orangtua, melainkan sebagai pendidikan yang ada manfaatnya bagi si anak," kata Rifa.
***
MEMPUNYAI anak remaja, apalagi bagi orangtua yang keduanya bekerja, memang bukan hal yang mudah. Pada masa remaja, anak lebih mendengarkan perkataan temannya daripada orangtua. Namun, kondisi ini bisa dieliminir, jika sejak kecil anak dibiasakan untuk mengisi waktu dengan hal-hal yang berguna.
Anak yang dari kecil biasa mempunyai kegiatan padat akan lebih bisa mengisi waktu luang dengan hal-hal yang berguna. Ia tidak terbiasa nongkrong atau pergi ke sana-sini tanpa ada tujuannya.
"Ternyata, anak yang masa kecilnya sibuk, banyak kegiatan, lebih bisa membagi waktu daripada anak yang masa kecilnya tidak diberi banyak kesibukan. Anak jadi bisa mengatur waktunya dan mengisinya dengan hal-hal positif," tegas Rifa.
Lagi pula bila anak diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan tambahan, selain mendapat pengetahuan ekstra, anak juga akan bergaul. Dengan bergaul, rasa percaya diri anak akan tumbuh dengan baik. Konsep diri yang berkembang dalam pikiran anak pun akan semakin positif.
"Di samping itu, kualitas dan kuantitas komunikasi orangtua dan anak juga harus dibina sejak dini. Jika komunikasi sudah terjalin baik, bila mendapatkan masalah di masa remaja nanti, tidak terlalu sulit menghadapinya," tegas Rifa.
0 komentar:
Posting Komentar